menu

Minggu, 06 November 2016

materi akhlak

Taubat dan Raja


BAB III
Taubat dan Raja
A.    TOBAT
Pengertian Tobat Kata taubat berasal dari bahasa Arab at-taubah, yang kata kerjanya taaba, yatuubu yang berarti rujuk atau kembali. Menurut istilah yang dikemukakan ulama, pengertian taubat ialah : 1). Kembali dari kemaksiatan kepada ketaatan atau kembali dari jalan yang jauh dari Allah kepada jalan yang lebih dekat kepada Allah. 2). Membersihkan hati dari segala dosa 3). Meninggalkan keinginan untuk melakukan kejahatan, seperti yang pernah dilakukan dengan mengagungkan nama Allah dan menjauhkan diri dari kemurkaan-Nya. Hukum bertaubat adalah wajib bagi setiap muslim atau muslimah yang sudah mukallaf (balig dan berakal). Allah SWT berfirman : “ ... dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, Hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.” (QS. An-Nuur ; 31)
B.     Syarat Bertaubat
Taubat baru dianggap sah dan dapat menghapus dosa apabila telah memenuhi syarat yang telah ditentukan. Bila dosa itu terhadap Allah SWT, maka ayat taubatnya ada tiga macam, yaitu: 1) Menyesal terhadap perbuatan maksiat yang telah diperbuat (nadam). 2) Meninggalkan perbuatan maksiat itu. 3) Bertekad dan berjanji dengan sungguh-sungguh tidak akan mengulangi lagi perbuatan maksiat itu Namun, bila dosanya terhadap sesama manusia, maka syarat taubatnya selain yang tiga macam tersebut ditambah dengan dua syarat lagi yaitu: 1) Meminta maaf terhadap orang yang telah dizalimi (dianiaya) atau dirugikan. 2) Mengganti kerugian setimbang dengan kerugian yang dialaminya, akibat perbuatan zalim itu atau minta kerelaannya. Dosa terhadap sesama manusia akibat perbuatan zalim itu hendaknya diselesaikan di dunia ini juga. Karena kalau tidak, pelaku dosanya di akhirat termasuk orang yang merugi bahkan celaka. Apabila seseorang telah terlanjur bertaubat dosa, kemudian bertaubat dengan sebenar-benarnya, tentu ia akan memperoleh banyak hikmah dan manfaat. Tentu saja taubat yang dilakukan harus memenuhi syarat-syarat taubat seperti tersebut. Adapun hikmah dan manfaat yang di peroleh dari pertaubatan itu antara lain: dosanya diampuni, memperoleh rahmat Allah, dan bimbingan untuk masuk surga. Terkait dengan taubat ini Allah SWT berfirman: Artinya : “wahai orang-orang yang beriman, bertubatlah kepada Allah dengan taubat semurni-murninya. Mudah-mudahan Tuhan kamu akan menutupi kesalahan-kesalahanmu dan memasukan kamu kedalam surga.” (Q.S.At-Tahrim,66: 8) Perlu pula diketahui dan disadari oleh setiap orang yang telah terlanjur berbuat dosa, bahwa seorang yang membaca istigfar (mohon ampunan dosa kepada Alloh), tetapi terus menerus berbuat doasa, maka ia akan dianggap telah mengolok-olok Tuhannya. Demikian juga seorang yang berbuat dosa, dan baru bertaubat ketika “sakratul maut” (nyawanya yang sudah berada di tenggorokan) maka taubatnya tidak akan diterima Allah. Selain pelaku dosa itu harus betul-betul meninggalkan perbuatan dosanya (taubt nasuha), hendaknya ia juga terus-menerus melakukan perbuatan baik yang diridai Allah SWT. Allah berfirman: Artinya : “Sesungguhnya perbuatan-perbuatan yang baik itu menghapuskan perbuatan yang buruk (dosa) “ (Q.S. Huud, 11:114) II.
C.     RAJA’
Pengertian Raja’ Kata Raja () berasal dari bahasa arab yang artinya harapan. Yang dimaksud raja’ pada pembahasan ini ialah mengharapkan keridaan Allah SWT dan rahmat-Nya. Rahmat adalah segala karunia Allah SWT yang mendatangkan manfaat dan nikmat. Raja’ termasuk akhlakul karimah terhadap Allah SWT, yang manfaatnya dapat mempertebal iman dan mendekatkan diri kepada Allah SWT. Muslim (muslimah) yang mengharapkan ampunan Allah, berarti ia mengakui bahwa Allah itu Maha Pengampun. Muslim (Muslimah) yang mengharapkan agar Allah melimpahkan kebahagiaan di dunia dan di akhirat, berarti ia menyakini bahwa Allah itu Maha pengasih dan Maha Penyayang. Oleh karena itu, sudah seharusnya setiap muslim (muslimah) senantiasa berharap memperoleh rida dan rahmat Allah, sebagai bukti penghambaan kepada-Nya. Allah SWT telah memerintahkan kepada orang-orang yang beriman agar banyak berdoa kepada Allah SWT, dengan berharap Allah SWT akan mengabulkan doanya. Allah SWT berfirman: "Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu... (Q.S.Al-Mu’min, 40:60)
Kebalikan dari sifat raja’ ialah berputus harapan terhadap rida dan rahmat Allah SWT. Orang berputus harapan terhadap Allah, berarti ia berprasangka buruk kepada Allah SWT. Yang hukumanya haram dan merupakan ciri dari orang kafir. Allah SWT berfirman: Artinya: “Dan jangan kamu berputus harapan terhadap rahmat Allah, sesungguhnya tidak berputus harapan terhadap rahmat Allah, melainkan kaum yang kafir.” (Q.S.Yusuf, 12: 87) Seseorang yang berharap memperoleh rida dan rahmat Allah SWT, bahagia di dunia dan akhirat tentu harus berusaha dengan melakukan perbuatan-perbutan yang menyebabkan apa yang diharapkannya itu terwujud. Jika ia hanya berharap saja dan tidak mau berusaha itu namanya berangan-angan kosong atau berkhayal yang dalam bahasa arabnya disebut tamanni. Seseorang muslim yang mengharapkan rida Allah SWT, tentu harus berusaha dengan jalan betul-betul bertakwa pada Allah, sesuai dengan apa yang telah dicontohkan oleh Rasulullah SAW. Allah berfirman yang artinya: “ Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan Dia banyak menyebut Allah.” (Q.S.Al-Ahzab, 33: 21) Muslim/muslimah yang bersifat raja’ tentu dalam hidupnya akan bersikap Optimis,dinamis,berfikir kritis, dan mengenal diri dalam mengharap keridaan Allah SWT, berikut adalah penjelasan ringkas tentang hal tesebut: 1. Optimis Dalam kamus besar bahasa indonesia dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan optimis adalah orang yang selalu berpengharapan (berpandangan) baik dalam menghadapi segala hal atau persoalan. Optimis termasuk sifat terpuji. Sifat optimis seharusnya dimiliki oleh setiap muslim (muslimah). Seorang muslim (muslimah) yang optimis tentu akan berprasangka baik terhadap Allah. Ia kan selalu berusaha agar kualitas hidupnya meningkat. Kebalikan dari sifat optimis ialah sifat pesimistis. Sifat pesimistis ini seharusnya dijauhi, karena termasuk dalam sifat tercela. Seseorang yang pesimis dapat di artikan berprasangka buruk kepada Allah. Ia dalam hidupnya kemungkinan besar tidak akan memperoleh kemajuan. Seseorang yang pesimis biasanya selalu khawatir akan memperoleh kegagalan, kekalahan, kerugian atau bencana, sehingga ia tidak mau berusaha untuk mencobanya. Muslim (muslimah) yang bersifat optimistis hendaknya bertawakkal kepada Allah SWT yaitu berusaha sekuat tenaga untuk meraih apa yang dicita-citakannya, sedangkan hasilnya diserahkan kapada Allah SWT. Orang yang tawakkal tentu akan memperoleh pertolongan dari Allah SWT. Allah SWT berfirman : Artinya: “Dan Barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya.” (Q.S.Ath-Thalaq, 65: 3) 2. Dinamis Kata dinamis berasal dari bahasa belanda dynamisch yang berarti giat bekerja, tidak mau tinggal diam, selalu bergerak, terus tumbuh. Seseorang yang berjiwa dinamis, tentu selama hidupnya, tidak akan diam berpangku tangan. Dia akan terus berusaha secara sungguh-sungguh, untuk meningkatkan kualitas dirinya ke arah yang lebih baik dan lebih maju. Misalnya : · Seorang petani akan berusaha agar hasil pertaniannya meningkat. · Seorang pedagang akan terus berusaha agar usaha dagangnya berkembang. · Seorang pelajar akan meningkatkan kegiatan belajaranya supaya ilmuanya betambah. Sikap pelaku dinamis seperti itu sebenarnya sesuai dengan fitrah (pembawaan) manusia, yang memiliki kecenderungan untuk meningkat ke arah yang lebih baik. Allah SWT berfirman: Artinya : “Sesungguhnya kamu melalui tingkat demi tingkat (dalam kehidupan),” (Q.S.Al-Insyiqaq, 84:19) Mengacu kepada pengertian dinamis tersebut, jelas bahwa sikap dinamis termasuk akhlakul karimah, yang seyogyanya dimiliki dan di amalkan oleh setiap muslim (muslimah). Seorang muslim (muslimah) yang sudah meraih prestasi baik dalam bidang positif seperti dalam ilmu pengetahuan dan teknologi. Dalam bidang pertanian dan perdagangan serta dalam bidang ekonomi dan industri, hendaknya berusaha terus meningkatkan prestasinya ke arah yang lebih baik lagi. Hal itu sesuai dengan suruhan Allah SWT dalam Al-Qur’an dan anjuran Rasulullah SAW dalam haditsnya. Allah SWT berfirman. Artinya : “Maka apabila kamu telah selesai (dari sesuatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain dan hanya kepada Tuhanmulah hendaknya kamu berharap.” (Q.S.Al-Insyirah, 94: 7-8) Juga Rasulullah SAW bersabda yang artinya:” barang siapa yang amal usahanya lebih baik dari kemarin maka orang itu termasuk orang yang beruntung, dan jika amal usahanya sama dengan kemarin, termasuk yang merugi, dan jika amal usahanya lebih buruk dari yang kemarin, maka orang itu termasuk yang tercela”. (H.R. Tabrany) Kebalikan dari sifat dinamis adalah sifat statis. Sifat statis seharusnya dijauhi karena termasuk akhlak tercela yang dapat menghambat kemajuan dan mendatngkan kerugian. Seorang siswa/siswi yang berperilaku statis biasanya malas belajar dan tidak bergairah untuk menuntut ilmu yang lebih tinggi. Hal ini menyebabkan siswa/siswi tersebut kuallitas ilmunya tidak meningkat, sehingga ia tergolong orang yang merugi bahkan tercela. 3 Berpikir Kritis Dalam kamus bersar bahasa indonesia di jelaskan, bahwa perpikir krtitis itu artinya tajam dalam penganalisaan. Bersifat tidak lekas percaya, dan sifat terlalu berusaha menemukan kelasalahan, kekeliruan atau kekurangan. Orang yang ahli memberi kjritik atau memperikan pertimbangan apakah sesuatu itu benar atau salah, tepat atau keliru, sudah lngkap atau masih kurang disebut seorang kritikus. Kritik itu ada dua macam yaitu, yang termasuk akhlak terpuji dan yang tercela. Kritik yang termasuk akhlak terpuji adalah kritik yang sehat, yang didasari dengan niat ikhlas karena Allah SWT, tidak menggunakan kata-kata pedas yang menyakitkan hati, dan dengan maksud untuk memberi pertolongan kepada orang yang dikritik agar menyadari kesalahannya, kekeliruannya, dan kekurangan, disertai dengan memberikan petinjuk tantang jalur keluar dari kesalahan, kekeliruan dan kekurangan tersebut. Rasulullah SAW bersabda, yang artinya: “yang dinamakan orang Islam adalah orang yang menyelamatkan orang-orang muslim lainnya dari gangguan lidah dan tangannya, sedang yang dinamakan orang yang hijrah itu adalah orang yang meninggalkan semua larangan Allah” (H.R.Bukhari,Abu Dawud dan Nasa’iy) Kritik yang sehat, seperti tersebut sebenarnya termasuk ke dalam tolong menolong yang di perintahkan Allah SWT untuk dilaksenakan. Allah SWT berfirman yang artinya : “ dan bertolong menolonglah kamu dalam (mengerjakan)kebijakan dan takwa dan jangan tolong menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.” (Q.S. Al-Maa-idah, 5:2) Kritik yang termasuk akhlak tercela adalah kritik yang merusak, yang tidak didasari niat ikhlas karena Allah SWT, dengan menggunakan kata-kata keji yang menyakitkan hati dan tidak disertai memberi petunjuk tentang jalur keluar dari kesalahan, kekeliruan, dan kekurangan. Kritik mcam ini termasuk akhlak tercela karena dapat merusak hubungan antara yang mengkritik dan yang dikritik, sehingga antara mereka saling bermusuhan dan saling dengki, yang sangat dilarang oleh Allah SWT. Rasulullah SAW bersabda yang artinya: “ janganlah kamu berdengki-dengkian, jangan putus memutuskan persaudaraan, jangan benci-membenci, jangan pula belakang membelakangi, dan jadilah kamu hamba Allah yang bersaudara, sebagaimana telah di perintahkan Allah kepadamu.” (H.R.Bukhari dan Muslim) 4. Mengenali Diri Dengan Mengharap Keridaan Allah SWT Salah satu cara dalam mengharap keridaan Allah SWT ialah berusaha mengenali diri sendiri. Hal ini sesuai dengan pepatah yang terkenal di kalangan tasawuf: “Barang siapa yang mengenal dirinya tentu akan mengenal Tuhannya.” Mukmin yang mengenali dirinya, tentu akan menyadari bahwa dirinya adalah makhluk Allah, yang harus selalu tunduk pada ketentuan-ketentuan-Nya (sunnatullah). Termasuk ke dalam sunatullah antara lain ia pernah berada di dalam kandungan ibunya, selama kurang lebih 9 bulan, lalu ia lahir ke dunia dalam keadaan bayi, kemudian berproses menjadi balita, kanak-kanak, remaja, dewasa, tua, dan akhirnya meninggal dunia. Apakah setelah meninggal dunia kehidupan seorang manusia berakhir? Seorang mukmin akan menjawab mantap penuh keyakinian bahwa meninggal dunia bukan akhir kehidupan, karena setelah itu manusia akan terus hidup di alam Barzah (Kubur) dan alalu di dalam akhirat. Mukmin yang mengenali dirinya akan menyadari bahwa ia hidup karena Allah dan bertujuan untuk memperoleh keridaan Allah. Mukmin yang ketika di dunianya memperoleh kerdiaan Allah, tentu di alam kubur dan alam akhiratpun akan memperoleh rida Allah SWT, ia akan terbebas dari siksa kubur dan azab neraka dan akan mendapatkan nikmat kubur serta pahala surga. Seorang mukmin akan memperoleh rida Allah SWT, apabila semasa hidupnya di alam dunia betul-betul berada di jalan yang diridai Allah SWT, yakni betul-betul menghambakan dirinya hanya kepada-Nya dengan cara melaksanakan perintah-perintah-Nya dan meninggalkan larangan-larangan-Nya. Hal ini sesuai dengan maksud dan tujuan diciptakannya umat manusia yakni semata-mata untuk menghambakan diri pada Allah SWT. Allah SWT berfirman: Artinya : “Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.” (Q.S. Adz-Dzaariyaat,51: 56) Mukmin yang mengenali dirinya di mana pun dan kapan pun, tentu akan selalu mengadakan instropeksi apakah dirinya sudah betul-betul menghambakan dirinya kepada AllahSWT? Kalau sudah, bersyukurlah dan tingkatkan kualitasnya. Kalau belum, kembalilah ke jalan yang diridai Allah SWT dengan jalan beul-betul bertakwa kepada-Nya. Mukmin yang selama hidupnya selalu berada di jalan yang diridhoi Allah SWT dan tatkala meninggal dunia dalam keadaan bertakwa tentu nyawanya akan di cabut oleh malaikat Izrail dengan sikap ramah dan tidak menyakitan bahkan akan dipersilahkan pindah hidupnya dari alam dunia ke alam Barzah dan dimasukan ke dalam golongan hamba-hamba Allah yang diridai-Nya serta memperoleh pahala surga. Allah SWT berfirman yang artinya : “Hai jiwa yang tenang (nafsu mutamainnah) kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridai-Nya, maka masuklah ke dalam jama’ah hamba-hamba-Ku dan masuklah ke dalam suraga-Ku.” (Q.S. Al-Fajr, 89:27-30

Transaksi Ekonomi dalam Islam



BAB IV
Transaksi Ekonomi dalam Islam
A.    Pengertian Mu’āmalah
Mu’āmalah dalam kamus Bahasa Indonesia artinya hal-hal yang termasuk urusan kemasyarakatan (pergaulan, perdata, dsb). Sementara dalam fiqh Islam berarti tukarmenukar barang atau sesuatu yang memberi manfaat dengan cara yang ditempuhnya, seperti jual-beli, sewamenyewa, upah-mengupah, pinjammeminjam, urusan bercocok tanam, berserikat, dan usaha lainnya.
Dalam melakukan transaksi ekonomi, seperti jual-beli, sewa-menyewa, utang-piutang, dan pinjam-meminjam, Islam melarang beberapa hal di antaranya seperti berikut:
1.     Tidak boleh mempergunakan cara-cara yang batil.
2.      Tidak boleh melakukan kegiatan riba.
3.      Tidak boleh dengan cara-cara ẓālim (aniaya).
4.      Tidak boleh mempermainkan takaran, timbangan, kualitas, dan kehalalan.
5.      Tidak boleh dengan cara-cara spekulasi/berjudi.
6.      Tidak boleh melakukan transaksi jual-beli barang haram.

B.     Macam-Macam Mu’āmalah
1.      Jual-Beli
Jual-beli menurut syariat agama ialah kesepakatan tukar-menukar benda untuk memiliki benda tersebut selamanya. Melakukan jual-beli dibenarkan, sesuai dengan firman Allah Swt. berikut ini:

Artinya: “...Dan Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba....” (Q.S. al-Baqarah: 275).
Apabila jual-beli itu menyangkut suatu barang yang sangat besar nilainya, dan agar tidak terjadi kekurangan di belakang hari, al-Qur’ãn menyarankan agar dicatat, dan ada saksi.
a.       Syarat-Syarat Jual-Beli
Syarat-syarat yang telah ditetapkan dalam Islam tentang jual-beli adalah sebagai berikut.
1)      Penjual dan pembelinya haruslah:
a)      Ballig.
b)      Berakal sehat.
c)      Atas kehendak sendiri.
2)      Uang dan barangnya haruslah:
a)      Halal dan suci. Haram menjual arak dan bangkai, begitu juga babi dan berhala, termasuk lemak bangkai tersebut.
b)      Bermanfaat. Membeli barang-barang yang tidak bermanfaat sama dengan menyia-nyiakan harta atau pemboros.
c)      Keadaan barang dapat diserahterimakan. Tidak sah menjual barang yang tidak dapat diserahterimakan. Contohnya, menjual ikan dalam laut atau barang yang sedang dijadikan jaminan sebab semua itu mengandung tipu daya.
d)     Keadaan barang diketahui oleh penjual dan pembeli.
e)      Milik sendiri.
3)      Ijab Qobul
Seperti pernyataan penjual, “Saya jual barang ini dengan harga sekian.”Pembeli menjawab, “Baiklah saya beli.” Dengan demikian, berarti jual-beli itu berlangsung suka sama suka. Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya jual-beli itu hanya sah jika suka sama suka.” (HR. Ibnu Hibban)
b.      Khiyār
1)      Pengertian Khiyār
Khiyār adalah bebas memutuskan antara meneruskan jual-beli atau membatalkannya. Islam memperbolehkan melakukan khiyār karena jual-beli haruslah berdasarkan suka sama suka, tanpa ada unsur paksaan sedikit pun. Penjual berhak mempertahankan harga barang dagangannya, sebaliknya pembeli berhak menawar atas dasar kualitas barang yang diyakininya. Rasulullah saw. bersabda, “Penjual dan pembeli tetap dalam khiyar selama keduanya belum berpisah. Apabila keduanya berlaku benar dan suka menerangkan keadaan (barang)nya, maka jual-belinya akan memberkahi keduanya. Apabila keduanya menyembunyikan keadaan sesungguhnya serta berlaku dusta, maka dihapus keberkahan jual-belinya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
2)      Macam-Macam Khiyār
a)      Khiyār Majelis, adalah selama penjual dan pembeli masih berada di tempat berlangsungnya transaksi/tawar-menawar, keduanya berhak memutuskan meneruskan atau membatalkan jual-beli. Rasulullah saw. bersabda, “Dua orang yang berjual-beli, boleh memilih akan meneruskan atau tidak selama keduanya belum berpisah.” (HR. Bukhari dan Muslim).
b)      Khiyār Syarat, adalah khiyar yang dijadikan syarat dalam jual-beli. Misalnya penjual mengatakan, “Saya jual barang ini dengan harga sekian dengan syarat khiyar tiga hari.” Maksudnya penjual memberi batas waktu kepada pembeli untuk memutuskan jadi tidaknya pembelian tersebut dalam waktu tiga hari. Apabila pembeli mengiyakan, status barang tersebut sementara waktu (dalam masa khiyār) tidak ada pemiliknya. Artinya, si penjual tidak berhak menawarkan kepada orang lain lagi. Namun, jika akhirnya pembeli memutuskan tidak jadi, barang tersebut menjadi hak penjual kembali. Rasulullah saw. bersabda kepada seorang lelaki, “Engkau boleh khiyār pada segala barang yang engkau beli selama tiga hari tiga malam.” (HR. Baihaqi dan Ibnu Majah).
c)      Khiyār Aibi (cacat), adalah pembeli boleh mengembalikan barang yang dibelinya jika terdapat cacat yang dapat mengurangi kualitas atau nilai barang tersebut, namun hendaknya dilakukan sesegera mungkin.
c.       Ribā
1)      Pengertian Ribā
Ribā adalah bunga uang atau nilai lebih atas penukaran barang. Hal ini sering terjadi dalam pertukaran bahan makanan, perak, emas, dan pinjam-meminjam.
Ribā, apa pun bentuknya, dalam syariat Islam hukumnya haram. Sanksi hukumnya juga sangat berat. Diterangkan dalam hadis yang diriwayatkan bahwa, "Rasulullah mengutuk orang yang mengambil ribā, orang yang mewakilkan,orang yang mencatat, dan orang yang menyaksikannya.” (HR. Muslim). Dengan demikian, semua orang yang terlibat dalam riba sekalipun hanya sebagai saksi, terkena dosanya juga.
Guna menghindari riba, apabila mengadakan jual-beli barang sejenis seperti emas dengan emas atau perak dengan perak ditetapkan syarat:
a)      sama timbangan ukurannya.
b)      dilakukan serah terima saat itu juga.
c)      secara tunai.
Namun tetap harus secara tunai dan diserahterimakan saat itu juga. Kecuali barang yang berlainan jenis dengan perbedaan seperti perak dan beras, dapat berlaku ketentuan jual-beli sebagaimana barang-barang yang lain.
2)      Macam-Macam Ribā
a)      Ribā Faḍli, adalah pertukaran barang sejenis yang tidak sama timbangannya. Misalnya, cincin emas 22 karat seberat 10 gram ditukar dengan emas 22 karat namun seberat 11 gram. Kelebihannya itulah yang termasuk riba.
b)      Ribā Qorḍi, adalah pinjammeminjam dengan syarat harus memberi kelebihan saat mengembalikannya. Misal si A bersedia meminjami si B uang sebesar Rp100.000,00 asal si B bersedia mengembalikannya sebesar Rp115.000,00. Bunga pinjaman itulah yang disebut riba.
c)      Ribā Yādi, adalah akad jual-beli barang sejenis dan sama timbangannya, namun penjual dan pembeli berpisah sebelum melakukan serah terima. Seperti penjualan kacang, ketela yang masih di dalam tanah.
d)     Ribā Nasi’ah, adalah akad jual-beli dengan penyerahan barang beberapa waktu kemudian. Misalnya, membeli buah-buahan yang masih kecil-kecil di pohonnya, kemudian diserahkan setelah besar-besar atau setelah layak dipetik. Atau, membeli padi di musim kemarau, tetapi diserahkan setelah panen.

2.      Utang-piutang
a.       Pengertian Utang-piutang
Utang-piutang adalah menyerahkan harta dan benda kepada seseorang dengan catatan akan dikembalikan pada waktu kemudian. Tentu saja dengan tidak mengubah keadaannya. Misalnya utang Rp100.000,00 di kemudian hari harus melunasinya Rp100.000,00. Memberi utang kepada seseorang berarti menolongnya dan sangat dianjurkan oleh agama.
b.      Rukun Utang-piutang
Rukun utang-piutang ada tiga, yaitu:
1)      yang berpiutang dan yang berutang
2)      ada harta atau barang
3)      Lafadz kesepakatan. Misal: “Saya utangkan ini kepadamu.” Yang berutang menjawab, “Ya, saya utang dulu, beberapa hari lagi (sebutkan dengan jelas) atau jika sudah punya akan saya lunasi.”
Untuk menghindari keributan di belakang hari, Allah Swt. menyarankan agar kita mencatat dengan baik utang-piutang yang kita lakukan.
Jika orang yang berutang tidak dapat melunasi tepat pada waktunya karena kesulitan, Allah Swt. menganjurkan memberinya kelonggaran. “Dan jika (orang berutang itu) dalam kesulitan, maka berilah tenggang waktu sampai dia memperoleh kelapangan. Dan jika kamu menyedekahkan, itu lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui..” (Q.S. al-Baqarah: 280).
Apabila orang membayar utangnya dengan memberikan kelebihan atas kemauannya sendiri tanpa perjanjian sebelumnya, kelebihan tersebut halal bagi yang berpiutang, dan merupakan suatu kebaikan bagi yang berutang. Rasulullah saw. bersabda: “Sesungguhnya sebaik-baik kamu, ialah yang sebaik-baiknya ketika membayar utang.” (sepakat ahli hadis). Abu Hurairah ra. berkata, ”Rasulullah saw. telah berutang hewan, kemudian beliau bayar dengan hewan yang lebih besar dari hewan yang beliau utang itu, dan Rasulullah saw. Bersabda ,”Orang yang paling baik di antara kamu ialah orang yang dapat membayar utangnya dengan yang lebih baik.” (HR. Ahmad dan Tirmidzi).
Bila orang yang berpiutang meminta tambahan pengembalian dari orang yang melunasi utang dan telah disepakati bersama sebelumnya, hukumnya tidak boleh. Tambahan pelunasan tersebut tidak halal sebab termasuk riba. Rasulullah saw. berkata “Tiap-tiap piutang yang mengambil manfaat maka ia semacam dari beberapa macam ribā.” (HR. Baihaqi).

3.      Sewa-menyewa
a.       Pengertian Sewa-menyewa
Sewa-menyewa dalam fiqh Islam disebut ijārah, artinya imbalan yang harus diterima oleh seseorang atas jasa yang diberikannya. Jasa di sini berupa penyediaan tenaga dan pikiran, tempat tinggal, atau hewan.
Dasar hukum ijārah dalam firman Allah Swt.:

Artinya: “...dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut...” (Q.S. al-Baqarah: 233).


Artinya: “...kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak) mu maka berikanlah imbalannya kepada mereka...”(Q.S. aṭ-Ṭalāq: 6)
b.      Syarat dan Rukun Sewa-menyewa
1)      Yang menyewakan dan yang menyewa haruslah telah ballig dan berakal sehat.
2)      Sewa-menyewa dilangsungkan atas kemauan masing-masing, bukan karena dipaksa.
3)      Barang tersebut menjadi hak sepenuhnya orang yang menyewakan, atau walinya.
4)      Ditentukan barangnya serta keadaan dan sifat-sifatnya.
5)      Manfaat yang akan diambil dari barang tersebut harus diketahui secara jelas oleh kedua belah pihak. Misalnya, ada orang akan menyewa sebuah rumah. Si penyewa harus menerangkan secara jelas kepada pihak yang menyewakan, apakah rumah tersebut mau ditempati atau dijadikan gudang. Dengan demikian, si pemilik rumah akan mempertimbangkan boleh atau tidak disewa. Sebab risiko kerusakan rumah antara dipakai sebagai tempat tinggal berbeda dengan risiko dipakai sebagai gudang. Demikian pula jika barang yang disewakan itu mobil, harus dijelaskan dipergunakan untuk apa saja.
6)      Berapa lama memanfaatkan barang tersebut harus disebutkan dengan jelas.
7)      Harga sewa dan cara pembayarannya juga harus ditentukan dengan jelas serta disepakati bersama.
Dalam hal sewa-menyewa atau kontrak tenaga kerja, haruslah diketahui secara jelas dan disepakati bersama sebelumnya hal-hal berikut.
1)      Jenis pekerjaan dan jam kerjanya.
2)      Berapa lama masa kerja.
3)      Berapa gaji dan bagaimana sistem pembayarannya: harian, bulanan, mingguan ataukah borongan?
4)      Tunjangan-tunjangan seperti transpor, kesehatan, dan lain-lain, kalau ada.
C.   Syirkah
Secara bahasa, kata syirkah (perseroan) berarti mencampurkan dua bagian atau lebih sehingga tidak dapat lagi dibedakan antara bagian yang satu dengan bagian yang lainnya. Menurut istilah, syirkah adalah suatu akad yang dilakukan oleh dua pihak atau lebih yang bersepakat untuk melakukan suatu usaha dengan tujuan memperoleh keuntungan.
a.       Rukun dan Syarat Syirkah
Adapun rukun syirkah secara garis besar ada tiga, yaitu seperti berikut:
1)      Dua belah pihak yang berakad (‘aqidani). Syarat orang yang melakukan akad adalah harus memiliki kecakapan (ahliyah) melakukan taṡarruf (pengelolaan harta).
2)      Objek akad yang disebut juga ma’qud ‘alaihi mencakup pekerjaan atau modal. Adapun syarat pekerjaan atau benda yang dikelola dalam syirkah harus halal dan diperbolehkan dalam agama dan pengelolaannya dapat diwakilkan.
3)      Akad atau yang disebut juga dengan istilah ṡigat. Adapun syarat sah akad harus berupa taṡarruf, yaitu adanya aktivitas pengelolaan.
b.      Macam-Macam Syirkah
Syirkah dibagi menjadi beberapa macam, yaitu syirkah `inān, syirkah ‘abdān, syirkah wujūh, dan syirkah mufāwaḍah.
1)      Syirkah ‘Inān
Syirkah ‘inān adalah syirkah antara dua pihak atau lebih yang masing- masing memberi kontribusi kerja (amal) dan modal (mal). Syirkah ini hukumnya boleh berdasarkan dalil sunah dan ijma’ sahabat.
Contoh syirkah ‘inān: A dan B sarjana teknik komputer. A dan B sepakat menjalankan bisnis perakitan komputer dengan membuka pusat service dan penjualan komponen komputer. Masing-masing memberikan kontribusi modal sebesar Rp10 juta dan keduanya sama-sama bekerja dalam syirkah tersebut. Dalam syirkah jenis ini, modalnya disyaratkan harus berupa uang. Sementara barang seperti rumah atau mobil yang menjadi fasilitas tidak boleh dijadikan modal, kecuali jika barang tersebut dihitung nilainya pada saat akad. Keuntungan didasarkan pada kesepakatan dan kerugian ditanggung oleh masing-masing syārik (mitra usaha) berdasarkan porsi modal. Jika masing-masing modalnya 50%, masing-masing menanggung kerugian sebesar 50%.
2)      Syirkah ‘Abdān
Syirkah ‘abdān adalah syirkah antara dua pihak atau lebih yang masing-masing hanya memberikan kontribusi kerja (amal), tanpa kontribusi modal (amal).  Konstribusi kerja itu dapat berupa kerja pikiran (seperti penulis naskah) ataupun kerja fisik (seperti tukang batu). Syirkah ini juga disebut syirkah ‘amal.
Contohnya: A dan B samasama nelayan dan bersepakat melaut bersama untuk mencari ikan. Mereka juga sepakat apabila memperoleh ikan akan dijual dan hasilnya akan dibagi dengan ketentuan: A mendapatkan sebesar 60% dan B sebesar 40%. Dalam syirkah ini tidak disyaratkan kesamaan profesi atau keahlian, tetapi boleh berbeda profesi. Jadi, boleh saja syirkah ‘abdān terdiri atas beberapa tukang kayu dan tukang batu. Namun, disyaratkan bahwa pekerjaan yang dilakukan merupakan pekerjaan halal dan tidak boleh berupa pekerjaan haram, misalnya berburu anjing. Keuntungan yang diperoleh dibagi berdasarkan kesepakatan, porsinya boleh sama atau tidak sama di antara syarik (mitra usaha).
3)      Syirkah Wujūh
Syirkah wujūh adalah kerja sama karena didasarkan pada kedudukan, ketokohan, atau keahlian (wujuh) seseorang di tengah masyarakat. Syirkah wujūh adalah syirkah antara dua pihak yang sama-sama memberikan kontribusi kerja (amal) dengan pihak ketiga yang memberikan konstribusi modal (mal).
Contohnya: A dan B adalah tokoh yang dipercaya pedagang. Lalu A dan B bersyirkah wujuh dengan cara membeli barang dari seorang pedagang secara kredit. A dan B bersepakat bahwa masing-masing memiliki 50% dari barang yang dibeli. Lalu, keduanya menjual barang tersebut dan keuntungannya dibagi dua. Sementara harga pokoknya dikembalikan kepada pedagang. Syirkah wujūh ini hakikatnya termasuk dalam syirkah ‘abdān
4)      Syirkah Mufāwaḍah
Syirkah mufāwaḍah adalah syirkah antara dua pihak atau lebih yang menggabungkan semua jenis syirkah di atas. Syirkah mufāwaḍah dalam pengertian ini boleh dipraktikkan. Sebab setiap jenis syirkah yang sah berarti boleh digabungkan menjadi satu. Keuntungan yang diperoleh dibagi sesuai dengan kesepakatan, sedangkan kerugian ditanggung sesuai dengan jenis syirkahnya, yaitu ditanggung oleh para pemodal sesuai porsi modal jika berupa syirkah ‘inān, atau ditanggung pemodal saja jika berupa mufāwaḍah, atau ditanggung mitra-mitra usaha berdasarkan persentase barang dagangan yang dimiliki jika berupa syirkah wujūh.
Contohnya: A adalah pemodal, berkontribusi modal kepada B dan C. Kemudian, B dan C juga sepakat untuk berkontribusi modal untuk membeli barang secara kredit atas dasar kepercayaan pedagang kepada B dan C. Dalam hal ini, pada awalnya yang terjadi adalah syirkah ‘abdān, yaitu ketika B dan C sepakat masing-masing bersyirkah dengan memberikan kontribusi kerja saja. Namun, ketika A memberikan modal kepada B dan C, berarti di antara mereka bertiga terwujud muḍārabah. Di sini A sebagai pemodal, sedangkan B dan C sebagai pengelola. Ketika B dan C sepakat bahwa masing-masing memberikan kontribusi modal, di samping kontribusi kerja, berarti terwujud syirkah ‘inān di antara B dan C. Ketika B dan C membeli barang secara kredit atas dasar kepercayaan pedagang kepada keduanya, berarti terwujud syirkah wujūh antara B dan C. Dengan demikian, bentuk syirkah seperti ini telah menggabungkan semua jenis syirkah dan disebut syirkah mufāwaḍah.
5)      Muḍārabah
Muḍārabah adalah akad kerja sama usaha antara dua pihak, di mana pihak pertama menyediakan semua modal (ṡāhibul māl), pihak lainnya menjadi pengelola atau pengusaha (muḍarrib). Keuntungan usaha secara muḍārabah dibagi menurut kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak, namun apabila mengalami kerugian, ditanggung oleh pemilik modal selama kerugian tersebut bukan akibat kelalaian si pengelola. Seandainya kerugian itu diakibatkan karena kecurangan atau kelalaian si pengelola, pengelola harus bertanggung jawab atas kerugian tersebut.
Kontrak bagi hasil disepakati di depan sehingga bila terjadi keuntungan, pembagiannya akan mengikuti kontrak bagi hasil tersebut. Misalkan, kontrak bagi hasilnya adalah 60:40, di mana pengelola mendapatkan 60% dari keuntungan, pemilik modal mendapat 40% dari keuntungan.
Muḍārabah sendiri dibagi menjadi dua, yaitu muḍārabah muṭlaqah dan muḍārabah muqayyadah. Muḍārabah muṭlaqah merupakan bentuk kerja sama antara pemilik modal dan pengelola yang cakupannya sangat luas dan tidak dibatasi oleh spesifikasi jenis usaha, waktu, dan daerah bisnis. Muḍārabah muqayyadah adalah kebalikan dari muḍārabah muṭlaqah, yakni usaha yang akan dijalankan dengan dibatasi oleh jenis usaha, waktu, atau tempat usaha.
6)      Musāqah, Muzāra’ah, dan Mukhābarah
a)      Musāqah
Musāqah adalah kerja sama antara pemilik kebun dan petani di mana sang pemilik kebun menyerahkan kepada petani agar dipelihara dan hasil panennya nanti akan dibagi dua menurut persentase yang ditentukan pada waktu akad.
Konsep musāqah merupakan konsep kerja sama yang saling menguntungkan antara kedua belah pihak (simbiosis mutualisme). Tidak jarang para pemilik lahan tidak memiliki waktu luang untuk merawat perkebunannya, sementara di pihak lain ada petani yang memiliki banyak waktu luang namun tidak memiliki lahan yang bisa digarap. Dengan adanya sistem kerja sama musāqah, setiap pihak akan sama-sama mendapatkan manfaat.
b)     Muzāra’ah dan Mukhābarah
Muzāra’ah adalah kerja sama dalam bidang pertanian antara pemilik lahan dan petani penggarap di mana benih tanamannya berasal dari petani. Sementara mukhābarah ialah kerja sama dalam bidang pertanian antara pemilik lahan dan petani penggarap di mana benih tanamannya berasal dari pemilik lahan. Muzāra’ah memang sering kali diidentikkan dengan mukhābarah. Namun demikian, keduanya sebenarnya memiliki sedikit perbedaan. Apabila muzāra’ah, benihnya berasal dari petani penggarap, sedangkan mukhābarah benihnya berasal dari pemilik lahan.
Muzāra’ah dan mukhābarah merupakan bentuk kerja sama pengolahan pertanian antara pemilik lahan dan penggarap yang sudah dikenal sejak masa Rasulullah saw. Dalam hal ini, pemilik lahan memberikan lahan pertanian kepada penggarap untuk ditanami dan dipelihara dengan pembagian persentase tertentu dari hasil panen. Di Indonesia, khususnya di kawasan pedesaan, kedua model penggarapan tanah itu sama-sama dipraktikkan oleh masyarakat petani. Landasan syariahnya terdapat dalam hadis dan ijma’ ulama.

D.   Perbankan
1.      Pengertian Perbankan
Bank adalah sebuah lembaga keuangan yang bergerak dalam menghimpun dana masyarakat dan disalurkannya kembali dengan menggunakan sistem bunga. Dengan demikian, hakikat dan tujuan bank ialah untuk membantu masyarakat yang memerlukan, baik dalam menyimpan maupun meminjamkan, baik berupa uang atau barang berharga lainnya dengan imbalan bunga yang harus dibayarkan oleh masyarakat pengguna jasa bank.
Bank dilihat dari segi penerapan bunganya, dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu seperti berikut:
a.       Bank Konvensional
Bank konvensional ialah bank yang fungsi utamanya menghimpun dana untuk disalurkan kepada yang memerlukan, baik perorangan maupun badan usaha, guna mengembangkan usahanya dengan menggunakan sistem bunga.
b.      Bank Islam atau Bank Syariah
Bank Islam atau bank syari’ah ialah bank yang menjalankan operasinya menurut syariat Islam. Istilah bunga yang ada pada bank konvensional tidak ada dalam bank Islam. Bank syariah menggunakan beberapa cara yang bersih dari riba, misalnya seperti berikut:
1)      Muḍārabah, yaitu kerja sama antara pemilik modal dan pelaku usaha dengan perjanjian bagi hasil dan sama-sama menanggung kerugian dengan persentase sesuai perjanjian. Dalam sistem muḍārabah, pihak bank sama sekali tidak mengintervensi manajemen perusahaan.
2)      Musyārakah, yakni kerja sama antara pihak bank dan pengusaha di mana masing-masing sama-sama memiliki saham. Oleh karena itu, kedua belah pihak mengelola usahanya secara bersama-sama dan menanggung untung ruginya secara bersama-sama pula.
3)      Wadi’ah, yakni jasa penitipan uang, barang, deposito, maupun surat berharga. Amanah dari pihak nasabah berupa uang atau barang titipan yang telah disebutkan di atas dipelihara dengan baik oleh pihak bank. Pihak bank juga memiliki hak untuk menggunakan dana yang dititipkan dan menjamin bisa mengembalikan dana tersebut sewaktuwaktu pemiliknya memerlukan.
4)      Qarḍul hasān, yakni pembiayaan lunak yang diberikan kepada nasabah yang baik dalam keadaan darurat. Nasabah hanya diwajibkan mengembalikan simpanan pokok pada saat jatuh tempo. Biasanya layanan ini hanya diberikan untuk nasabah yang memiliki deposito di bank tersebut sehingga menjadi wujud penghargaan bank kepada nasabahnya.
5)      Murābahah, yaitu suatu istilah dalam fiqh Islam yang menggambarkan suatu jenis penjualan di mana penjual sepakat dengan pembeli untuk menyediakan suatu produk, dengan ditambah jumlah keuntungan tertentu di atas biaya produksi. Di sini, penjual mengungkapkan biaya sesungguhnya yang dikeluarkan dan berapa keuntungan yang hendak diambilnya. Pembayaran dapat dilakukan saat penyerahan barang atau ditetapkan pada tanggal tertentu yang disepakati. Dalam hal ini, bank membelikan atau menyediakan barang yang diperlukan pengusaha untuk dijual lagi dan bank meminta tambahan harga atas harga pembeliannya. Namun demikian, pihak bank harus secara jujur menginformasikan harga pembelian yang sebenarnya.

E.   Asuransi Syari’ah
1.      Prinsip-Prinsip Asuransi Syariah
Asuransi berasal dari bahasa Belanda, assurantie yang artinya pertanggungan. Dalam bahasa Arab dikenal dengan at-Ta’m³n yang berarti pertanggungan, perlindungan, keamanan, ketenangan atau bebas dari perasaan takut. Si penanggung (assuradeur) disebut mu’ammin dan tertanggung (geasrurrerde) disebut musta’min.
Dalam Islam, asuransi merupakan bagian dari muāmalah. Kaitan dengan dasar hukum asuransi menurut fiqh Islam adalah boleh (jaiz) dengan suatu ketentuan produk asuransi tersebut harus sesuai dengan ketentuan hukum Islam. Pada umumnya, para ulama berpendapat asuransi yang berdasarkan syari’ah dibolehkan dan asuransi konvensional haram hukumnya.
Asuransi dalam ajaran Islam merupakan salah satu upaya seorang muslim yang didasarkan nilai tauhid. Setiap manusia menyadari bahwa sesungguhnya setiap jiwa tidak memiliki daya apa pun ketika menerima musibah dari Allah Swt., baik berupa kematian, kecelakaan, bencana alam maupun takdir buruk yang lain. Untuk menghadapi berbagai musibah tersebut, ada beberapa cara untuk menghadapinya. Pertama, menanggungnya sendiri. Kedua, mengalihkan risiko ke pihak lain. Ketiga, mengelolanya bersama-sama.
Dalam ajaran Islam, musibah bukanlah permasalahan individual, melainkan masalah kelompok walaupun musibah ini hanya menimpa individu tertentu. Apalagi jika musibah itu mengenai masyarakat luas seperti gempa bumi atau banjir. Berdasarkan ajaran inilah, tujuan asuransi sangat sesuai dengan semangat ajaran tersebut.
Allah Swt. menegaskan hal ini dalam beberapa ayat, di antaranya berikut ini:

Artinya: “...dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran...” (Q.S. al-Māidah: 2).

Banyak pula hadis Rasulullah saw. yang memerintahkan umat Islam untuk saling melindungi saudaranya dalam menghadapi kesusahan. Berdasarkan ayat al-Qur’ān dan riwayat hadis, dapat dipahami bahwa musibah ataupun risiko kerugian akibat musibah wajib ditanggung bersama. Bukan setiap individu menanggungnya sendiri-sendiri dan tidak pula dialihkan ke pihak lain. Prinsip menanggung musibah secara bersama-sama inilah yang sesungguhnya esensi dari asuransi syari’ah.
2.      Perbedaan Asuransi Syariah dan Asuransi Konvensional
Tentu saja prinsip tersebut berbeda dengan yang berlaku di sistem asuransi konvensional, yang menggunakan prinsip transfer risiko. Seseorang membayar sejumlah premi untuk mengalihkan risiko yang tidak mampu dia pikul kepada perusahaan asuransi. Dengan kata lain, telah terjadi ‘jual-beli’ atas risiko kerugian yang belum pasti terjadi. Di sinilah cacat perjanjian asuransi konvensional. Sebab akad dalam Islam mensyaratkan adanya sesuatu yang bersifat pasti, apakah itu berbentuk barang ataupun jasa.
Perbedaan yang lain, pada asuransi konvensional dikenal dana hangus, di mana peserta tidak dapat melanjutkan pembayaran premi ketika ingin mengundurkan diri sebelum masa jatuh tempo. Dalam konsep asuransi syari’ah, mekanismenya tidak mengenal dana hangus. Peserta yang baru masuk sekalipun, lantas karena satu dan lain hal ingin mengundurkan diri, dana atau premi yang sebelumnya sudah dibayarkan dapat diambil kembali, kecuali sebagian kecil saja yang sudah diniatkan untuk dana tabarru’ (sumbangan) yang tidak dapat diambil.
Setidaknya, ada manfaat yang bisa diambil kaum muslimin dengan terlibat dalam asuransi syari’ah, di antaranya bisa menjadi alternatif perlindungan yang sesuai dengan hukum Islam. Produk ini juga bisa menjadi pilihan bagi pemeluk agama lain yang memandang konsep syariah lebih adil bagi mereka karena syariah merupakan sebuah prinsip yang bersifat universal.
Untuk pengaturan asuransi di Indonesia dapat dipedomani Fatwa Dewan Syari’ah Nasional No. 21/DSN-MUI/X/2001 tentang Pedoman Umum Asuransi Syari’ah